AKSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM: Ketika Ilmu Menjadi Jalan Menuju Ibadah dan Peradaban


Bayangkan seorang anak kecil sedang menggambar rumah di atas kertas. Garis-garisnya miring, atapnya tidak simetris, tapi ia tersenyum penuh bangga. Mengapa? Karena dalam kesederhanaan itu, ada makna. Pendidikan Islam ibarat gambar rumah itu. Tujuannya bukan sekadar keindahan di mata dunia, tetapi ketulusan dalam prosesnya. Dalam Islam, pendidikan bukan proyek status sosial, bukan pula tangga menuju gelar dan gaji tinggi semata. Ia adalah ibadah, jalan menyempurnakan kehambaan. Tapi mari kita jujur, bukankah kini banyak yang belajar hanya untuk lulus ujian, bukan untuk hidup yang teruji?


Aksiologi, atau nilai dan tujuan dari sebuah sistem, adalah nadi dari pendidikan Islam. Ia tak bisa dipisahkan dari tauhid, keyakinan bahwa segala ilmu, pencarian, dan pengajaran harus bersumbu pada Allah. Ibarat kompas dalam kapal besar, tanpa tauhid, pendidikan bisa menjelajah jauh—tapi tersesat arah. Sayangnya, banyak kurikulum kini tampak lebih sibuk mengejar “ranking PISA” daripada ridha Ilahi. Adakah kita sedang melatih generasi untuk pandai coding tapi gagap dalam kejujuran?


Islam tidak pernah memisahkan ilmu dan akhlak. Jika sekularisme mendidik otak tanpa menyentuh hati, maka Islam mendidik akal, hati, dan tangan sekaligus. Ibarat menanam pohon: akar itu iman, batangnya ilmu, daunnya amal, dan buahnya adalah akhlak mulia. Maka tak heran jika Luqman—seorang bukan nabi—diabadikan dalam Al-Qur’an karena ia mendidik anaknya dengan kebijaksanaan. Bukan hanya soal “hafal berapa juz?”, tapi juga “apa yang kamu lakukan saat melihat kesombongan dan kezaliman?”


Aksiologi pendidikan Islam menanamkan nilai amanah, sebuah kata yang kini mulai terdengar asing di kantor, bahkan di ruang kelas. Pendidikan yang benar seharusnya mencetak insan yang tidak hanya cerdas, tapi juga bisa dipercaya. Bayangkan seorang dokter lulusan terbaik, tapi korup dalam praktik. Atau guru yang fasih teori moral, tapi tak jujur mengoreksi nilai murid. Di sinilah letak nyala dari pendidikan Islam: mencetak pribadi yang berintegritas, bukan hanya ber-IPK tinggi.


Kemudian ada keadilan—sebuah prinsip yang sering kita dengar dalam khutbah, tapi jarang kita jumpai di laporan akreditasi sekolah. Islam mengajarkan bahwa adil bukanlah memberi sama rata, tapi memberi sesuai hak dan proporsi. Dalam pendidikan, itu berarti tidak mendewakan yang pintar dan mencampakkan yang lambat. Bukankah setiap anak adalah unik? Tapi realita hari ini, adakah sistem pendidikan kita masih melihat murid sebagai “makhluk belajar”, atau hanya sebagai angka statistik kelulusan?


Nilai jujur dalam pendidikan adalah seperti oksigen dalam paru-paru: tampak biasa, tapi tanpanya, sistem akan mati perlahan. Islam sangat keras terhadap kebohongan. Tapi hari ini, siswa diajari sejak dini “trik mencontek,” guru terpaksa “rekayasa angka” karena tekanan nilai, dan sekolah-sekolah “memoles laporan” demi akreditasi. Apakah kita benar-benar sedang mendidik? Atau sedang menciptakan generasi yang pandai menutupi kegagalan dengan kepalsuan?


Lalu ada kesabaran, nilai yang tidak diajarkan lewat slide PowerPoint, tapi melalui keteladanan. Pendidikan Islam tidak memburu hasil instan. Ia menghargai proses. Seperti petani yang tahu bahwa benih tak bisa dipaksa tumbuh dalam semalam. Sayangnya, dunia hari ini dikuasai oleh logika cepat–praktis–instan. Belajar jadi cepat saji, karakter dibentuk lewat “motivator lima menit.” Apakah masih ada ruang bagi guru untuk mengajar dengan pelan, dalam, dan mendidik batin?


Dan tentu saja: kasih sayang. Rasulullah ﷺ adalah pendidik agung karena kelembutannya. Bukan karena beliau hafal ribuan teori, tapi karena ia memanusiakan manusia. Pendidikan tanpa kasih sayang adalah penjara. Kasih sayang dalam Islam adalah ruh dalam interaksi pendidik dan peserta didik. Di mana letak cinta dalam sistem kita hari ini? Jika guru dipaksa target kurikulum dan siswa dipaksa menghafal tanpa paham—adakah kasih sayang di situ?


Tujuan akhir pendidikan Islam bukanlah ijazah, tapi taqwa. Ilmu hanyalah alat. Maka jika pendidikan kita melahirkan orang-orang yang pintar menipu, licin dalam korupsi, dan jago menindas sesama, maka sistemnya perlu ditanya: “Apakah ini pendidikan Islami atau hanya kemasan Islam di dalam sistem sekular?” Taqwa adalah buah dari ilmu yang benar. Ilmu yang tidak menjauhkan dari Allah, tapi justru mendekatkan. Di sinilah kita diuji: apakah sekolah dan pesantren masih mengantar anak menuju Allah?


Islam juga menargetkan pendidikan untuk membangun peradaban yang berkeadaban. Bukan hanya mencetak individu shalih, tapi masyarakat yang sehat secara etika dan adab. Ibarat taman bunga: bukan hanya satu bunga yang harum, tapi seluruh taman yang meneduhkan. Itulah makna rahmatan lil ‘ālamīn. Tapi realitanya, ketika banyak alumni pendidikan tinggi justru menjadi pelaku hoaks, penyebar ujaran kebencian, atau kaki tangan oligarki, pertanyaannya: “Pendidikan model apa yang melahirkan mereka?”

QS Luqman ayat 12–19 memberi cetak biru pendidikan Islami: dimulai dari tauhid, lalu etika kepada orang tua, tanggung jawab moral, keberanian berkata benar, serta etika sosial. Sebuah paket nilai yang kini kerap dikemas ulang dengan istilah barat seperti “character building” atau “life skill”. Tapi tidakkah kita sadar bahwa nilai-nilai itu sudah lama ada di dalam Islam? Mengapa kita malah merasa asing dengan warisan sendiri, dan silau pada nama asing?

Aksiologi pendidikan Islam bukan nostalgia romantik masa lalu. Ia adalah tawaran solusi kontemporer. Di tengah krisis moral global, kegamangan arah pendidikan, dan kekacauan nilai di media sosial, pendidikan Islam hadir membawa cahaya. Tapi itu baru terjadi jika kita berani menanamkan nilai tauhid dan akhlak dalam seluruh sistem, bukan sekadar slogan di baliho kampus. Berani kah kita menyusun ulang tujuan pendidikan kita?

Pada akhirnya, kita harus bertanya dengan tajam dan jujur: Untuk apa sebenarnya kita mendirikan sekolah dan pesantren? Apakah untuk mencetak tenaga kerja atau pelayan Tuhan? Apakah untuk sekadar menghasilkan lulusan atau melahirkan pembaharu zaman? Pendidikan Islam bukan sekadar mengajar, tapi menyucikan jiwa, membebaskan akal, dan menuntun umat menuju Allah. Jika pendidikan hari ini tak menumbuhkan taqwa, adab, dan tanggung jawab, maka jangan-jangan kita sedang sibuk mendidik generasi yang salah arah—menuju dunia, tapi lupa akhirat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *