APA ITU FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM?

Bayangkan seorang petani di tengah ladangnya. Ia tidak sekadar menabur benih, tapi menimbang musim, mengamati angin, membaca langit. Begitu juga dengan Filsafat Pendidikan Islam. Ia bukan hanya tentang mengajarkan anak menghafal ayat dan hadits, tapi tentang membaca “langit makna” di balik setiap tindakan pendidikan. Filsafat pendidikan Islam adalah usaha merenung mendalam tentang kenapa kita belajar, bagaimana kita harus belajar, dan untuk apa semua proses itu diarahkan. Seperti petani yang tak sekadar menanam, kita tidak boleh sekadar “menyekolahkan”.


Filsafat Pendidikan Islam itu ibarat mata air di tengah padang tandus. Ia menyejukkan akal yang kering oleh rutinitas administratif dan kurikulum yang membatu. Ia hadir sebagai ajakan merenung, bukan menghafal. Sebuah perenungan terhadap pertanyaan mendasar: “Apakah tujuan pendidikan kita benar-benar untuk memanusiakan manusia, atau sekadar mencetak robot penghafal?” Humor tragisnya, kadang kita lebih takut anak tak hafal rumus dibanding tak kenal Tuhan.


Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi transformasi jiwa. Coba bayangkan pendidikan sebagai perjalanan dari gua gelap menuju matahari. Anak-anak bukan wadah kosong, tapi pelita yang harus dinyalakan. Maka, tujuan pendidikan dalam Islam adalah tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) dan ta’dib (penanaman adab). Kita tidak sedang mendidik manusia untuk tahu banyak, tapi agar menjadi manusia yang tahu cara menjadi manusia.


Apa makna belajar dalam Islam? Ia bukan upaya mengoleksi ijazah seperti kolektor perangko, tapi jalan menuju penghambaan sejati. Belajar adalah ibadah; setiap menulis, membaca, bahkan mengeluh pun, bisa berpahala—jika diniatkan lillahi ta‘ala. Maka jangan heran kalau Imam al-Ghazali menulis: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesesatan.” Lalu, berapa banyak dari kita yang sekolah tinggi-tinggi tapi tak tahu arah hidup? Bukankah itu yang disebut “nyasar dengan gelar lengkap”?


Sumber pendidikan Islam bukan sekadar buku teks, tapi wahyu dan akal, serta pengalaman hidup para Nabi dan orang saleh. Al-Qur’an adalah kitab pendidikan, bukan hanya kitab bacaan musiman di bulan Ramadan. Nabi Muhammad bukan hanya Rasul, tapi juga murabbi agung. Maka ketika pendidikan kita jauh dari teladan Rasul, tidakkah itu seperti membuka warung nasi padang tapi menunya pizza?


Metode dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh: menyentuh akal, hati, dan tindakan. Ada metode tazkiyah (penyucian), tadrib (pelatihan), muhasabah (evaluasi diri), hingga mujahadah (kesungguhan). Maka, pendidikan Islam tak sekadar metode ceramah satu arah atau sekadar ujian pilihan ganda. Apakah mungkin hati anak-anak kita tercerahkan jika gurunya hanya membacakan slide dan membagikan soal? Ibarat ingin menanam pohon mangga, tapi yang kita lakukan cuma mengecat pot.


Pendidik dalam Islam adalah cerminan Tuhan yang Maha Rahman dan Maha Murabbi. Guru bukan hanya “penyampai materi”, tapi teladan hidup. Dalam Islam, guru itu seperti pelita di malam gelap, bukan sekadar alarm pengingat tugas. Maka, guru tak boleh hanya “datang, duduk, diceramahin, terus pulang”. Jika guru tak punya cinta, maka anak-anak akan belajar dengan ketakutan, bukan dengan harapan.


Peserta didik adalah amanah, bukan beban. Anak-anak adalah anugerah, bukan angka dalam laporan. Mereka tidak datang ke sekolah untuk diseragamkan, tapi untuk ditemukan potensinya. Filsafat Pendidikan Islam memandang peserta didik sebagai makhluk fitri, yang punya benih cahaya. Tapi pertanyaannya: Berapa banyak sekolah hari ini yang menyiram cahaya itu, dan berapa banyak yang malah menimbunnya dengan tumpukan soal?


Isi pendidikan Islam mencakup ilmu dunia dan akhirat. Tidak ada dikotomi. Belajar matematika bisa jadi ibadah, belajar sains bisa jadi tasbih. Tapi sayangnya, masih banyak yang menganggap ilmu agama sebagai pelengkap kurikulum, seperti sayur lalapan yang bisa diambil atau tidak. Padahal di zaman Nabi, ilmu dan iman itu seperti dua sisi mata uang. Kalau cuma punya satu sisi, ya, tidak bisa belanja surga.


Perbedaan utama antara pendidikan Islam dan Barat terletak pada tujuan dan dasar nilainya. Pendidikan Barat cenderung menekankan produktivitas, efisiensi, dan akumulasi. Pendidikan Islam menekankan makna, keadilan, dan kebajikan. Pendidikan Barat mempersiapkan orang untuk bekerja. Pendidikan Islam mempersiapkan manusia untuk hidup dan mati. Maka pertanyaannya: Apakah kita mendidik anak-anak kita untuk sukses menurut standar dunia atau selamat menurut standar akhirat?


Filsafat Pendidikan Islam juga adalah kritik terhadap sistem pendidikan modern yang terlalu “ujian-sentris”, bukan “makna-sentris”. Ujian menjadi dewa, angka menjadi nabi, dan ranking jadi surga. Tapi kita lupa bahwa banyak yang nilainya tinggi tapi akhlaknya rendah. Tidakkah itu ironis? Anak hafal semua teori demokrasi, tapi tak bisa berdialog tanpa marah-marah. Bukankah ini hasil dari sistem pendidikan tanpa filsafat?

Dengan filsafat pendidikan Islam, kita diajak berpikir ulang: Apa sebenarnya yang disebut “maju” dalam pendidikan? Apakah ketika semua anak bisa coding, tapi tak bisa jujur? Apakah ketika semua siswa fasih bahasa asing, tapi gagap menyapa tetangga? Pendidikan Islam menolak semua bentuk kemajuan yang mengikis kemanusiaan. Maka jangan heran kalau pendidikan Islam terasa “berat”—karena ia ingin menumbuhkan akar, bukan sekadar menabur bunga.

Pada akhirnya, filsafat pendidikan Islam adalah lentera. Ia tidak memberi jawaban instan, tapi menyulut pertanyaan bermakna. Ia tak menawarkan rumus cepat, tapi mengajak kita menapak jalan panjang kehidupan. Jalan itu mungkin terjal, tapi membawa cahaya. Maka pertanyaannya sekarang: Beranikah kita merombak sistem pendidikan kita dari yang semula seragam dan buru-buru menjadi mendalam dan bertanya? Ataukah kita masih nyaman menukar makna dengan nilai rapor, dan membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan kepala penuh tapi dada kosong?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *