Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Oke, siap-siap ya, karena kali ini kita bakal ngulik kisah Imam Al-Ghazali dengan kadar kegokilan yang lebih tinggi, tapi tanpa mengurangi rasa hormat kita pada beliau sebagai ulama top-tier. Beliau ini ibaratnya rockstar spiritual yang nggak cuma jago nulis lagu rohani, tapi juga bisa bikin penontonnya auto-nangis (haru, bukan sedih) dan akhirnya healing secara massal!
Jadi gini, Imam Al-Ghazali itu lahir di sebuah desa bernama Thus, Khurasan. Bukan dari keluarga sultan apalagi dinasti konglomerat, gaes. Bapaknya cuma tukang pintal benang, tapi visinya udah kayak Elon Musk zaman itu: jauh ke depan! Sebelum wafat, bapaknya berbisik (mungkin agak ngegas dikit): “Nak, jangan sampai kamu jadi orang bego ya! Nanti duit peninggalan bapak buat biayain kamu belajar.” Wah, ini sih udah challenge accepted banget!
Bareng abangnya, Ahmad, mereka berdua mulai petualangan intelektual yang bikin kita mikir, “ini bocah pada nggak capek apa?” Mereka keliling dari satu guru ke guru lain, kayak backpacker religi yang nyari sinyal ilmu. Otaknya Al-Ghazali ini bener-bener super-processor! Sekali denger atau baca, langsung auto-save dan auto-analisis. Sampai akhirnya, nyantol deh sama guru paling hits di masanya, Imam Al-Juwaini di Nishapur. Guru ini sampai dikasih julukan “Imam Haramain” (Imam Dua Tanah Suci, maksudnya beliau itu ulama besar yang ilmunya udah kayak kiblat bagi banyak orang). Nah, di bawah bimbingan sang guru, Al-Ghazali makin jadi-jadi, ilmunya udah kayak paket komplit premium yang dilengkapi addon filosofi, logika, fikih, sampe ilmu kalam!
Nah, ini nih bagian yang bikin kita semua ikutan melongo dan ngangguk-ngangguk. Setelah guru kesayangan beliau wafat, Al-Ghazali dilamar sama Nizam al-Mulk, Wazir Agung Dinasti Seljuk (ini pejabat paling berkuasa, sekelas menteri utama tapi powernya lebih gede), buat ngajar di Madrasah Nizamiyyah Baghdad. Ini madrasah paling elite dan bergengsi se-jagad raya, kayak Oxford atau Harvard-nya zaman itu lah. Usia 34 tahun, Al-Ghazali udah di puncak karier, gaes! Ribuan murid ngantre cuma buat dengerin podcast live-nya beliau. Kalau ada podcast zaman itu, rating Al-Ghazali pasti nomor satu, mungkin ngalahin semua influencer atau public figure yang ada! Tiap kali debat sama filsuf atau ahli logika, beliau selalu menang telak, tanpa banding, tanpa drama.
Tapi, di tengah sorotan fame and fortune (kemasyhuran dan kekayaan) yang bikin silau, batin beliau mulai gerah. “Ini beneran ilmu? Ini beneran bikin bahagia?” bisikan-bisikan itu makin kenceng di hatinya. Kayak kena quarter-life crisis (krisis seperempat abad, biasanya dialami usia 20-30an) tapi versi spiritual tingkat dewa! Beliau sampai sakit, lidahnya kaku, nggak bisa nelen makanan. Dokter pun angkat tangan, “Ini bukan penyakit fisik, ini sakit hati,” kata mereka. Duh, segitunya ya efek inner conflict!
Di titik itu, Al-Ghazali bikin keputusan paling gila, paling nyeleneh, dan paling legend dalam sejarah: dia mundur dari semua jabatannya! Bayangin, jabatan profesor bergengsi, gaji gede, popularitas, ribuan followers (murid setia), semuanya ditinggalin! Ini bukan sekadar resign (mengundurkan diri) biasa, ini totalitas! Beliau pilih jalan sufi, jalan yang anti-glamour (tidak mementingkan kemewahan), yang cuma fokus nyari Tuhan. Ibaratnya, kayak influencer yang tiba-tiba detox digital (puasa dari media sosial) dan fokus ke inner peace (kedamaian batin).
Beliau pun traveling (melancong) ke Damaskus, Jerusalem, sampe Mekkah, buat self-discovery (penemuan jati diri) dan nge-charge spiritual. Sepuluh tahun menghilang, bertapa, dan mikir keras. Ini bukan kayak liburan biasa, tapi soul-searching (pencarian jiwa) tingkat dewa! Hasilnya? Lahirlah kitab masterpiece yang bikin geger dunia dan sampai sekarang masih jadi rujukan: “Ihya’ Ulumiddin” (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Kitab ini kayak update sistem operasi (pembaruan program inti) bagi umat Islam, ngegabungin akal, hati, syariat (hukum Islam), dan hakikat (kebenaran sejati) jadi satu kesatuan yang powerful (berdaya besar) banget!
Setelah 10 tahun “bertapa” itu, Al-Ghazali balik lagi ke kampung halaman. Tapi beliau bukan Al-Ghazali yang sombong atau angkuh. Beliau balik dengan aura bijaksana, hati yang bersih, dan ilmu yang makin mendalam. Beliau bikin madrasah kecil, ngajar dengan ketulusan yang bikin murid-muridnya adem banget. Sampai akhir hayatnya, beliau konsisten dengan jalan yang dipilihnya. Beliau ini bukti nyata kalau mencari kebenaran itu bukan cuma pakai otak, tapi juga pakai hati.
Jadi, begitulah kisah Imam Al-Ghazali, sang ulama legend yang berhasil membuktikan bahwa kebahagiaan sejati itu bukan soal harta, jabatan, atau likes di media sosial, tapi soal seberapa dekat kita dengan Sang Pencipta. Keren, kan? Bikin pengen ikutan healing juga, nggak sih?