Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Bayangkan dua orang musafir yang hendak menempuh perjalanan panjang. Yang satu membawa peta yang terhubung dengan kompas langit, sementara yang lain hanya membawa GPS tanpa arah kiblat. Keduanya berjalan cepat, bahkan sangat cepat, tetapi tujuan mereka tak sama. Begitulah gambaran pendidikan Islam dan Barat. Sama-sama disebut “pendidikan”, sama-sama berbicara tentang ilmu dan kemajuan, tapi pijakan dan arah akhirnya sangat berbeda. Maka, jika hari ini banyak manusia tampak cerdas tapi kehilangan makna, tidakkah kita patut bertanya: pendidikan model apa yang telah kita telan bulat-bulat?
Dalam Islam, tujuan pendidikan adalah melahirkan insān kāmil—manusia utuh, paripurna secara ruhani dan jasmani. Bukan sekadar pintar matematika atau jago teknologi, tapi juga lembut hati dan luhur akhlaknya. Ibarat pisau tajam yang juga berhias sarung beludru: kuat tapi tetap indah. Sementara pendidikan Barat lebih fokus pada manusia produktif dan rasional, seperti pabrik yang memoles bahan mentah agar siap pakai di pasar kerja. Pertanyaannya: Apakah kita sedang mendidik manusia atau sekadar mencetak mesin yang bisa bicara?
Sumber pengetahuan dalam Islam bersumber dari wahyu, dilengkapi akal, qalb, dan pengalaman. Ilmu bukan hanya soal fakta, tapi juga nilai dan kebijaksanaan. Seorang alim bisa menangis ketika membaca satu ayat, karena ia membaca dengan qalb dan nur. Sedangkan pendidikan Barat modern, kendati mengagumkan dalam inovasi, menjadikan rasio dan empirisme sebagai raja tunggal. Fakta adalah segalanya. Tapi bukankah ada banyak kebenaran yang tak bisa diukur dengan mikroskop, seperti cinta, kejujuran, dan keberkahan?
Pendidikan Islam berdiri di atas nilai tauhid dan akhlak. Ia menempatkan Allah sebagai pusat orientasi segala ilmu. Maka pelajaran tentang alam pun adalah zikir, dan ilmu eksakta pun adalah ibadah. Ibarat benih yang tumbuh karena cahaya, ilmu Islam tumbuh karena cahaya iman. Sebaliknya, nilai pendidikan Barat cenderung netral atau relativistik. Tidak ada benar mutlak, tidak ada salah yang sakral. Apa yang baik tergantung konteks. Maka, anak diajari berpikir kritis, tapi lupa diajari bagaimana bersikap santun. Bukankah kita sedang melihat generasi yang bisa mendebat semua hal, kecuali egonya sendiri?
Model pendidikan Islam bersifat transendental dan integral. Ia tidak memisahkan ilmu dunia dan akhirat, tidak memotong-motong pelajaran seperti tukang sembelih daging. Matematika, sejarah, bahkan seni—semua terhubung dengan Allah. Dalam satu halaqah bisa bicara tentang bumi dan surga sekaligus. Berbeda dengan model Barat yang sekular dan spesialis. Ilmu agama diletakkan di rak sendiri, terpisah dari sains dan filsafat. Bukankah ini seperti orang yang belajar tentang pohon, tapi tak peduli siapa yang menanamnya?
Mari kita bicara hasil. Pendidikan Islam bertujuan mencetak manusia yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya. Seperti cermin bersih yang memantulkan cahaya Tuhan. Sedangkan pendidikan Barat mencetak manusia yang tahu segalanya, kecuali untuk apa ia tahu. Ia bisa menghitung kecepatan cahaya, tapi lupa bagaimana cara memperlambat amarah. Ia bisa membuat robot, tapi tak bisa menahan diri dari mencela orang tua. Canggih, tapi kering.
Bayangkan sebuah sekolah ideal dalam Islam: guru adalah orang yang alim, sabar, dan punya wibawa ruhani; murid datang tidak hanya untuk nilai, tapi untuk mengambil barakah. Sementara di sistem Barat, guru kadang hanyalah fasilitator, bukan murobbi. Murid bebas menyanggah, bahkan menghina. Demokratis katanya. Tapi jika semua boleh bicara tanpa adab, apakah itu kemajuan atau kekacauan?
Dalam pendidikan Islam, pelajaran tentang adab bisa lebih utama daripada ilmu. Imam Malik pernah berkata, “Ibuku mengajariku adab sebelum mengajariku ilmu.” Tapi sekarang? Banyak yang menganggap etika sebagai sisipan di RPP, bukan fondasi pendidikan. Maka jadilah generasi yang cepat menjawab soal, tapi lambat mengucap “terima kasih”. Pandai debat, tapi gagap dalam menghormati yang lebih tua. Apakah ini kemajuan atau hanya kecepatan tanpa arah?
Sekolah Islam sejatinya adalah ladang tauhid. Setiap buku adalah ladang untuk mengenal Tuhan. Setiap guru adalah syari’ kecil yang menuntun ke jalan kebenaran. Tapi ironis, saat banyak lembaga pendidikan Islam malah mengejar sertifikasi, bukan taqarrub; memajang nilai akreditasi, tapi minim evaluasi ruhani. Apakah mungkin kita membentuk insan kamil dari gedung-gedung mewah tanpa ruh?
Pendidikan Barat bangga dengan rasionalitas. Segalanya harus logis. Tapi Islam tidak menolak logika—ia menundukkannya pada wahyu. Ilmu bukan untuk membanggakan diri, tapi untuk tawadhu’. Maka ulama sejati adalah yang paling takut pada Allah, bukan yang paling viral di media. Hari ini, gelar profesor bisa berarti opini tentang segala hal, bahkan agama. Apakah logika boleh menasihati wahyu? Di mana batas nalar dan iman?
Ada satu tamtsil menarik. Ilmu dalam Islam seperti air hujan yang turun dari langit: jernih, menumbuhkan, dan berkah. Tapi jika disimpan di wadah kotor (hati yang rusak), ia malah bisa jadi penyakit. Sementara Barat menganggap ilmu adalah hasil destilasi akal: makin murni jika makin jauh dari iman. Tapi bisakah ilmu yang tak kenal halal-haram menghasilkan kebaikan sejati?
Kita tak sedang mengajak menolak semua dari Barat. Banyak hal baik yang bisa diambil. Tapi seperti kata pepatah Arab, “Ambillah yang jernih, buang yang keruh.” Sayangnya, hari ini kita justru lebih nyaman mengadopsi utuh sistem Barat, lalu mengecatnya dengan sedikit Arab. Kita katakan itu “Islamic School” padahal kurikulumnya lebih sekuler dari sekolah negeri. Apakah ini Islamisasi pendidikan, atau sekularisasi berbungkus syariah?
Kini saatnya kita bertanya: Apakah kita masih mengajar untuk mengingatkan manusia akan kematian dan akhirat, atau hanya untuk mengejar gelar dan karier? Pendidikan Islam bukan nostalgia, tapi kebutuhan masa depan. Dunia boleh berubah, teknologi boleh merajalela, tapi jika pendidikan tidak menanamkan tauhid, adab, dan kesadaran spiritual, maka kita sedang membesarkan generasi pintar yang tak tahu jalan pulang. Dan siapa yang paling rugi dari itu semua, jika bukan kita sendiri?