Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Alamat:
Asrama At-Tawakal, Pondok Pesantren Cipasung, Cipakat, Singaparna, Kab. Tasikmalaya
Apa yang kita bayangkan saat mendengar kata “pendidikan”? Gedung-gedung tinggi? Seragam putih-abu? Ujian nasional? Atau tumpukan tugas yang mengganggu tidur siang? Dalam paradigma modern, pendidikan sering kali dipersempit menjadi proyek duniawi: mengejar ijazah, memburu kerja, dan memanjat tangga sosial. Padahal dalam Islam, pendidikan bukan sekadar urusan perut dan karier. Ia adalah jalan taqarrub, jalan mendekatkan diri kepada Allah. Bukan cuma investasi dunia, tapi juga tabungan akhirat.
Bayangkan pendidikan seperti jalan panjang menuju rumah Allah. Ada yang berjalan pelan sambil merenung, ada yang tergesa-gesa karena dikejar target, ada pula yang sekadar ikut-ikutan karena takut ketinggalan. Hadis Nabi menyatakan, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim). Ini bukan kiasan puitis, tapi janji spiritual yang membuka cakrawala: bahwa menuntut ilmu adalah ibadah yang membuka pintu surga, bukan sekadar kelas pagi yang membosankan.
Dalam Islam, belajar bukan sekadar mengisi kepala, tapi menghidupkan hati. Ia bukan hanya soal tahu banyak, tapi soal menjadi baik. Pendidikan sejati tidak berhenti di catatan kelas atau gelar akademis, tapi terus menjalar ke dalam adab, akhlak, dan spiritualitas. Jika taqarrub adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, maka belajar adalah bentuk sujud intelektual. Kita tidak hanya membaca buku, tapi juga membaca diri dan semesta—dan dari sana, membaca Allah.
Pendidikan itu seperti naik tangga ke langit. Setiap anak tangga adalah satu pengorbanan: waktu, tenaga, pikiran, bahkan kadang air mata. Tapi semakin tinggi kita naik, semakin dekat kita kepada cahaya. Itulah nilai spiritual dalam pendidikan Islam. Sayangnya, banyak yang malah sibuk menghias tangga: ranking, lomba, piagam—lalu lupa bahwa tujuannya adalah naik, bukan memoles. Apakah kita sedang membangun tangga menuju Tuhan atau sekadar panggung prestise?
Pendidikan yang bernilai taqarrub menempatkan niat sebagai poros utama. Niat bukan sekadar pengantar doa sebelum belajar, tapi bahan bakar ruhani dalam seluruh proses pendidikan. Belajar biologi pun bisa jadi ibadah, asalkan diniatkan lillahi ta‘ala. Tapi hari ini, banyak yang belajar demi konten TikTok atau demi menang debat warung kopi. Ilmu jadi alat pamer, bukan alat zikir. Tidakkah ini seperti menukar kompas dengan kamera selfie?
Tamtsilnya begini: ilmu itu seperti api. Di tangan orang saleh, ia bisa menerangi. Tapi di tangan orang zalim, ia bisa membakar. Maka pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mengarahkan ilmu kepada kebaikan, bukan kepada kerakusan. Dalam Islam, semakin berilmu seseorang, seharusnya semakin tunduk dia kepada Allah. Tapi hari ini, gelar justru jadi alasan untuk sombong. Bukankah ilmu yang tidak menuntun kepada taqwa, sejatinya hanyalah beban?
Pendidikan Islam sejati melibatkan tiga unsur: ilmu, amal, dan adab. Ilmu adalah petunjuk, amal adalah perjalanan, dan adab adalah kendaraan. Jika salah satunya hilang, maka proses menuju Allah pun terseok. Maka jangan heran jika ada orang hafal banyak buku, tapi tetap kasar dalam ucapan dan rakus dalam hidup. Ia mungkin sedang berjalan, tapi tanpa kendaraan. Apakah mungkin sampai ke surga jika kita tak tahu sopan santun di dunia?
Belajar juga adalah bentuk jihad. Bukan jihad mengangkat senjata, tapi jihad melawan kebodohan, kemalasan, dan hawa nafsu. Dalam setiap halaman yang dibaca, ada dosa yang luruh. Dalam setiap ujian yang dihadapi dengan jujur, ada pintu surga yang diketuk. Maka belajar bukanlah beban, tapi tangga kemuliaan. Sayangnya, sistem pendidikan kita kadang terlalu fokus pada hasil, bukan proses. Anak pintar yang curang tetap dipuji, yang jujur tapi gagal justru dimarahi. Apakah ini pendidikan, atau kompetisi licik yang disahkan?
Guru dalam jalan taqarrub adalah seperti musyrif haji: penunjuk jalan. Bukan hanya pengisi papan tulis, tapi penjaga semangat dan penuntun jiwa. Maka dalam Islam, guru disebut murabbi, bukan sekadar mu’allim. Ia tak hanya mengajar, tapi menumbuhkan. Tapi hari ini, banyak guru dipaksa jadi administrator. Dikejar target, tenggelam dalam laporan. Lalu kapan mereka sempat membimbing dengan cinta?
Siswa dalam pendidikan Islam bukan objek, tapi subjek perjalanan spiritual. Ia seperti musafir yang diberi bekal dan arahan. Maka menghormati siswa bukan sekadar sopan santun, tapi menghormati fitrah yang sedang tumbuh. Pendidikan yang baik adalah yang mengantarkan siswa dari keingintahuan menuju kesadaran. Tapi sistem hari ini lebih suka menilai siswa dari seberapa banyak mereka bisa meniru, bukan dari seberapa dalam mereka memahami. Apakah kita mencetak manusia, atau mesin penjawab soal?
Sekolah seharusnya menjadi taman zikir, bukan pabrik nilai. Ia harus membuka cakrawala batin, bukan hanya memenuhi target kurikulum. Setiap ruang kelas bisa menjadi mihrab, tempat murid bertemu dengan hakikat dirinya. Setiap perpustakaan bisa menjadi taman surga, jika ilmu yang dibaca mengantarkan pada cinta kepada Allah. Tapi bagaimana mungkin jika pelajaran agama pun hanya dinilai dari jumlah hafalan, bukan dari kehalusan hati?
Taqarrub bukan sekadar tujuan abstrak. Ia hadir nyata dalam karakter murid: dalam kesabaran mereka menghadapi ujian, dalam kejujuran mereka mengerjakan tugas, dalam kasih sayang mereka kepada teman. Maka hasil dari pendidikan Islam bukan hanya “nilai akhir semester”, tapi nilai akhir kehidupan. Ketika seorang siswa belajar dengan sungguh-sungguh dan berserah kepada Allah, saat itulah dia sedang berjalan menuju-Nya. Tapi hari ini, berapa banyak sekolah yang benar-benar menyiapkan siswa untuk akhirat?
Pada akhirnya, pendidikan dalam Islam adalah jalan pulang. Bukan sekadar jalan menuju sukses dunia, tapi jalan menuju Tuhan. Maka setiap pelajaran, setiap guru, setiap ujian, bahkan setiap kelelahan dalam belajar adalah langkah menuju ridha-Nya. Pertanyaannya: Sudahkah kita menjadikan sekolah sebagai jalan taqarrub, atau justru membuatnya sebagai tempat menjauh dari Allah? Karena jika ilmu tidak menuntun kepada cinta, maka untuk apa semua letih ini kita tanggung?